Jumat, 06 November 2015

Hari raya Galungan

Hari raya Galungan

Pendahuluan
Hari raya Galungan dirayakan oleh umat Hindu setiap 6 bulan Bali (210 hari) yaitu pada hari Budha Kliwon Dungulan (Rabu Kliwon wuku Dungulan) sebagai hari kemenangan Dharma (kebenaran) melawan Adharma (kejahatan).
Perayaan hari raya Galungan identik dengan pemasangan penjor di tepi jalan di depan setiap rumah. Sehingga membuat suasana modern terlihat alami dan indah. 10 hari setelah perayaan hari raya Galungan akan diikuti oleh hari raya Kuningan.
Penjor adalah hiasan yang terbuat dari bambu dan dihias sedemikian rupa sesuai dengan tradisi masyarakat Bali setempat. Penjor yang terpasang di tepi jalan (setiap rumah) itu sendiri merupakan haturan ke hadapan Sang hyang Widhi Wasa (Tuhan YME).
Hingga kini sebenarnya belum ada yang bisa memastikan kapan tepatnya upacara besar ini pertama kali diadakan di Indonesia. Apabila bertepatan dengan purnama, Galungan di adakan dengan upacara yang lebih utama dan lebih meriah. Disamping itu ada keyakinan bahwa hari Purnama itu adalah hari yang diberkahi oleh Sanghyang Ketu yaitu Dewa Kecemerlangan.
Galungan sempat dihentikan perayaannya pada masa Raja Sri Ekajaya (tahun Saka 1103) dan Raja Sri Dhanadi. Namun saat Galungan dihentikan perayaannya banyak terjadi musibah dan malapetaka yang menimpa Bali, saat itu banyak pejabat pejabat wafat diusia yang relatif masih muda. Saat Raja Sri Dhanadi mangkat dan digantikan Raja Sri Jayakasunu pada tahun 1126 Saka, barulah Galungan dirayakan kembali setelah beberapa puluh tahun tidak dirayakan.

Teori
Arti dari kata Galungan sendiri berasal dari Jawa Kuno yang berarti bertarung, atau biasa disebut dengan Dungulan yang berarti menang. Sedangkan perbedaan penyebutan wuku Galungan (Jawa) dan wuku Dungulan (Bali) adalah sama artinya, yaitu menang.
Menurut Lontar Purana Bali Dwipa, hari raya Galungan pertama kali dirayakan pada hari purnama kapat (Budha Kliwon Dungulan) di tahun 882 Masehi atau tahun saka 804. Lontar tersebut berbunyi: “Punang aci Galungan ika ngawit, Bu, Ka, Dungulan sasih kacatur, tanggal 15, isaka 804. Bangun indria Buwana ikang Bali rajya.” Artinya: “Perayaan (upacara) Hari Raya Galungan itu pertama-tama adalah pada hari Rabu Kliwon, (Wuku) Dungulan sasih kapat tanggal 15, tahun 804 Saka. Keadaan Pulau Bali bagaikan Indra Loka.”
Lontar sendiri merupakan pustaka suci (yang disucikan)/kitab pedoman bagi umat Hindu.
Galungan dan Kuningan dirayakan sebanyak dua kali dalam setahun kalender Masehi. Perhitungan perayaan kedua hari raya tersebut berdasarkan kalender Bali. Galungan setiap hari Rabu pada wuku Dungulan. Sementara Kuningan setiap hari Sabtu pada wuku Kuningan.

Makna hari raya Galungan dan Kuningan
Secara filosofis, Hari Raya Galungan dimaksudkan agar umat Hindu mampu membedakan dorongan hidup antara adharma dan budhi atma (dharma = kebenaran) di dalam diri manusia itu sendiri. Kebahagiaan bisa diraih tatkala memiliki kemampuan untuk menguasai kebenaran.
Dilihat dari sisi upacara, adalah sebagai momen umat Hindu untuk mengingatkan baik secara spiritual maupun ritual agar selalu melawan adharma dan menegakkan dharma. Bisa disimpulkan bahwa inti Galungan ialah menyatukan kekuatan rohani agar umat Hindu mendapat pendirian serta pikiran yang terang, yang merupakan wujud dharma dalam diri manusia.
Analisis
Galungan adalah menyatukan kekuatan rohani agar mendapat pikiran dan pendirian yang terang. Bersatunya rohani dan pikiran yang terang inilah wujud dharma dalam diri. Sedangkan segala kekacauan pikiran itu (byaparaning idep) adalah wujud adharma. Dari konsepsi lontar Sunarigama inilah didapatkan kesimpulan bahwa hakikat Galungan adalah merayakan me-nangnya dharma melawan adharma.

Referensi
http://www.mediahindu.com/asal-usul/makna-hari-raya-galungan-dan-kuningan-di-bali.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar